A Love That Can Be
.
.
Di luar anggapan orang, aku bukan orang yang senang merusak kebahagiaan
orang lain. Namun… ketika kebahagiaan itu begitu mencekik hatiku…
Hari ini adalah hari bahagia bagi kekasihku dan mempelai prianya. Pria
yang telah lama mengejarnya, dan tanpa basa-basi menangkap kasihku ketika kami
mengalami krisis.
Kurasa itu semua kesalahanku yang entah darimana mendapatkan ide bodoh
bahwa kami tidak layak—aku tidak layak bersamanya dan
sebagai hasilnya mendorongnya menjauh dari sisiku.
Aku menyusup masuk diam-diam dan menyaksikan keluarga berambut berantakan
itu berlalu lalang, sibuk memastikan event hari ini sempurna, atau menyapa para
penyihir yang datang. Cengiran bahagia terpatri di wajah mereka. Bahkan si
manusia-serigala, tidak seperti biasanya, tidak memasang wajah sendu dan
berpakaian lusuh, alih-alih ia berkeliaran menyapa teman Gryffindornya yang
juga hadir hari ini.
Dari dalam, kudengar suara mempelai kekasihku, berteriak bahwa warna
bunganya salah dan menuntut agar segera dicari pengganti yang diinginkannya.
Aku tanpa suara masuk ke dalam ruangan tempatnya berada, mendengar desahan Sirius
Black yang berdiri di sebelahnya, rupanya mendapat kehormatan untuk menjadi
pendamping pria.
“Oh, Jamie, sabar sedikit, bukan salahnya bunga lilynya warna pink. Bukannya
kau yang memutuskannya.” Black memijat-mijat pelipisnya, pakaian dan
penampilannya tampaknya siap sudah sejak berjam-jam lalu. Si anjing kudisan itu
mengerutkan keningnya, mungkin mempertimbangkan untuk meminum Ramuan Penenang
atau sejenisnya, namun tampaknya menyingkirkan ide itu, karena ia mendesah
lagi. Tampaknya bahkan ia tak sanggup lagi menghadapi kelakuan Potter, walaupun
dia sahabatnya.
James Potter, mendelik tajam ke arah Black, lalu menjawab ketus, “Aku
ingin semuanya sempurna untuk pernikahanku dengan Lily!” Ia mengacak rambut hitamnya
yang tadinya tertata, hingga kembali mencuat di bagian belakang seperti
biasanya. Black nampak menahan diri untuk tidak mengutuk Potter, sementara yang
bersangkutan hanya bersungut-sungut.
Tiba-tiba matanya menajam mengarah ke ambang pintu, dekat tempat aku
berdiri, dan sejenak aku membeku, ngeri membayangkan Mantra Penyamarku
tersingkap. Tetapi kemudian ia membentak, “Bunga itu sudah layu. Aku tidak mau
bunga layu di pernikahanku. Cepat ganti!” Penyihir yang melintas membawa bunga
melompat beberapa belas sentimeter dari tanah, terkejut, sebelum buru-buru
bergegas pergi dengan wajah merona untuk mengganti bunga yang dibawanya. Black
memutar bola matanya, lalu mendesah lagi.
Dari sedikit yang kusaksikan, aku sudah merasa tenagaku terkuras,
membuatku lemas. Aku keluar dari ruangan itu, tak sadar dan tak peduli bahwa
kakiku membawaku ke bagian belakang gedung, dan keluar dari pintu belakang
gedung besar ini.
Hal ini tidak seperti yang kubayangkan, atau kuharapkan. Dan kurasa
bukan seperti yang Lily-ku bayangkan atau inginkan. Aku mengacak rambut hitamku—sesuatu
yang di kemudian hari kusangkal dengan kukuh—dan bertanya-tanya dalam hati
ramuan apa yang kuminum ketika aku berpikir bahwa Lily Evans tidak pantas
bersanding denganku, atau bahwa ia akan peduli dengan pandangan teman-temannya Dunia
Sihir—yang moodnya setara dengan gadis remaja di ‘waktu bulanan’-nya—yang plin-plan,
satu detik memujanya atas kesuksesan penelitiannya di bidang Ramuan atau Mantra,
di saat berikutnya menuduhnya macam-macam karena ‘bersekongkol dengan ular
licin’.
Saat itu, kurasa aku berpikir bahwa hidupnya tanpaku akan lebih tenang,
lebih normal seperti yang kutahu selalu diinginkannya. Kubayangkan ia akan
memiliki suami yang baik dan mencintainya, memiliki seorang putra barangkali,
atau tiga orang anak dengan kepribadian mereka masing-masing, Lily akan
tersenyum di pagi hari ketika menyaksikan suaminya berangkat kerja, lalu ia
akan berjinjit untuk mencium keni—kurasa aku tidak mau lagi membayangkannya.
Tapi dari bukti yang kulihat di dalam, heh, kurasa aku memang tidak bisa
berharap banyak dari seorang Potter. Si mata-empat akan menghancurkan Lily-ku
dengan tingkahnya yang menjengkelkan seperti tadi. Aku tidak pernah suka
padanya. Mungkin dia menyebalkan, tapi dia selalu bersikap manis pada Lily, dan
dia bisa melindungi dan membahagiakan Lily dalam semua cara yang bisa
kupikirkan, kupikir ia bisa diterima bersanding dengan Lily, apapun untuk
kebahagiaan Lily-ku.
Sepertinya aku salah menilainya. Nah, jadi bukan tanpa alasan kan aku
tidak suka padanya. Potter pasti bukan seperti yang Lily bayangkan juga. Tapi
kurasa tidak ada yang bisa kuperbuat sekarang. Aku yang sudah menyia-nyiakan
kesempatanku.
Kututup mataku, dan aku bersandar ke tembok sebelah pintu belakang. Aku
menggoda inderaku, membayangkan bahwa Lily akan melewati ambang pintu di sebelahku,
setelah ia melarikan diri dari pernikahannya sendiri tanpa mengucapkan sumpah
setianya, dan tertegun ketika melihatku menunggunya di sini. Ia akan spontan
memelukku yang juga mematung, dan
setelahnya matanya yang cerah menatapku dalam-dalam, selalu mempercayai dan
memaafkanku. Lalu aku tidak akan tahan lagi dan berucap maaf dengan suara
parau, memintanya mendengarkanku sekali ini saja, untuk mengetahui alasanku,
dan setelahnya ia boleh memutuskan apa yang akan ia lakukan padaku. Ia akan
menghujani wajahku dengan kecupan manis dan kami akan meninggalkan tempat ini
sebelum ada yang menangkap basah kami berdua.
Kudengar suara di sekitarku meredup, dan kubuka mataku, disambut dengan
pemandangan tanpa Lily, tanpa kecupan dan mata cerahnya. Mengabaikan perasaan
kecewa dan merana yang menggelembung di dadaku, kudeduksi menghilangnya suara
orang beraktivitas adalah karena semua orang telah berpindah ke aula di depan
di mana pernikahan akan berlangsung. Aku kembali terserang dilema, bisakah aku
menyaksikannya?
Pikiranku berkecamuk, namun ternyata kakiku sudah membuat keputusan
lebih dulu dari nalarku, karena ia sudah melangkah tanpa izinku menuju ke depan
gedung, aku masuk dari pintu di bagian belakang aula tanpa melepas Mantra
Penyamarku.
Kulihat pasangan calon pengantin berjalan lamban menuju altar diiringi
organ tua mengalunkan melodi pernikahan, dalam balutan putih senada. Potter
melangkah seakan ia Perdana Mentri Inggris, mengacungkan dagunya di udara dan
mengumbar senyum ala Lockhart, si penulis baru populer berwajah tolol yang
selalu mengumbar senyum menyilaukan di setiap sampul bukunya. Sementara Lily,
matanya diam-diam menyapu para hadirin.
Aku setengah menghibur diriku bahwa ia mencariku, berharap melihatku
berdiri di antara mereka untuk menjemputnya kembali ke sisiku, atau mungkin
kemungkinan terburuk di pikirannya, untuk mengucapkan selamat tinggal dan
menyelamatinya. Sayang sekali,
pikirku pahit, calon suamimu tidak
mengundangku.
Tentu saja, mana mungkin ia mengundangku, walaupun ia tidak tahu bahwa
sebelumnya aku memiliki hubungan romantis dengan Lily, di mata mereka aku dan Lily
sedang bertengkar hebat tanpa salah satu dari kami sempat meengucap maaf, semua
karena aku mengatakan aku tak pantas untuknya. Yang tersebar pada public adalah
kejadian setelahnya, ketika aku menyebut Lily ‘Darah Lumpur’ agar ia membenciku
dan semakin mudah melepasku, tindakan yang sangat kusesali. Kalau para Marauder
tahu mungkin mereka akan mengikatku dan mengurungku di ruangan terkunci agar
aku tidak bisa merusak ‘peristiwa bahagia’ ini, atau semacam itu.
Kutatap Lily lekat-lekat, mencoba mencari sesuatu di ronanya. Namun ia
seperti kanvas yang kosong, tersapu bersih dari ekspresi apapun yang mungkin
memberiku petunjuk akan perasaannya yang sesungguhnya tentang semua ini. Bahkan
matanya, yang selalu menjadi jendela jiwanya dan selalu terbuka untukku, lebih
redup dan tertutup dari yang pernah kulihat selama ini.
Tanpa kusadari, mereka sudah sampai di depan penghulu, dan musik telah
berhenti bergaung.
Aku mendengar penghulu berkata, “Bila ada yang keberatan dengan
pernikahan ini, majulah sekarang, sebelum kita melanjutkan lebih jauh dan
semuanya tidak bisa diubah lagi, karena sihirlah yang akan mengikat mereka.”
Aku menahan napas mendengarnya. Keheningan melanda, tak ada yang
berbicara, sunyinya seakan mencekikku. Aku sekali lagi membayangkan diriku
berdiri di tengah mereka, berdiri perlahan dan mengangkat tanganku yang
bergetar.
Tetapi aku kini berada di di bagian belakang ruangan, di balik Mantra
Penyamar, menatap tercekam pernikahan kekasihku berlangsung. Otakku beku, apa
yang harus kuperbuat?
Aku tak mau kehilangannya, batinku tiba-tiba di tengah kebingunganku, ini
kesempatan terakhirku. Aku bersiap menyingkirkan iilusiku dan mengangkat
tanganku, namun sebelum tongkatku sempat terangkat, penghulu meneruskan
tugasnya. “Baiklah, karena tidak ada yang keberatan, kita lanjutkan
prosesinya.” Napasku kembali tercekat, otakku berdesing panik.
Bagaimana ini, selanjutnya apa? Haruskah aku melanjutkan protesku? Atau
haruskah kubiarkan ia melangkah pergi, melanjutkan kehidupannya tanpaku di
sisinya? Akan bisa bahagiakah ia, atau akankah ia merasa merana seperti yang
pasti akan kualami di sisa hidupku? Samar-samar kudengar penghulu mengucapkan
pertanyaan sakralnya, tetapi yang kulihat hanyalah wajah Lily, khidmat dan
pasif, seakan ia berada jauh dari tempat ini. Apakah ia masih mencintaiku
setelah semua kesedihan yang kutimpakan padanya sejauh ini? Akankah ia masih
mencintaiku?
Suatu kilatan di matanya menjawab semua pertanyaanku.
Kepasrahan.
Aku tak peduli bila aku telah melanggar ritual yang sakral, atau merusak
kebahagiaan banyak penyihir lain. Yang kuinginkan hanya Lily.
“—apakah kau bersedia?”
Jantungku berdetak kencang. Mereka sudah sampai ke bagian itu! Aku tidak
punya waktu lagi!
Sunyi senyap, bahkan derik serangga atau desik dedaunan tak terdengar
satupun. Semua undangan menahan napas mereka, menanti jawaban yang akan
mengikat kedua mempelai seumur hidup mereka. Kalimat ‘ya, aku bersedia’ yang
mereka tunggu-tunggu dan aku takutkan. Tanpa kata aku mengangkat ilusiku, siap
menyatakan protesku, sebelum semuanya terlambat.
“Tidak.”
Jawaban itu membekukan semua hadirin. Termasuk aku. Namun aku segera
menemukan suaraku, parau, namun tidak bergetar sedikitpun, “Lagipula aku masih
harus mengajukan keberatanku.”
Semua pandangan teralih padaku, termasuk Lily yang menoleh begitu cepatnya
aku bersyukur tidak mendengar suara retakan tanda lehernya patah. Ekspresi para
penyihir yang hadir bervariasi dari ngeri, terkejut, hingga murka. Namun mataku
hanya tertuju pada Lily, yang matanya melebar tak percaya. Aku setengah
terhipnotis oleh kilau emerald yang telah lama tak kuselami.
.
.
Severus berjalan dengan langkah penuh percaya diri, derap tiap
langkahnya menggaung di ruangan besar itu. Tak sekalipun ia melepaskan
pandangannya dari Lily yang menjadi tujuannya. Tak sedetikpun dihiraukannya
ekspresi tak percaya bercampur geram mempelai pria di sebelah kekasihnya.
Yang ia pedulikan hanyalah dua bulir hijau setelah berhenti melebar,
yang kini bersinar lagi setelah sebelumnya selalu redup.
Severus Snape bukanlah orang yang senang menghancurkan kebahagiaan orang
lain, ataupun menerobos menginterupsi pernikahan seseorang. Tetapi ia takkan
merelakan Lily-nya lepas dari pelukannya. Takkan pernah lagi.
“Bicara, sekarang.”
Setelah kilau kebahagiaan dan kelegaan dilihatnya sekali lagi terlintas
di mata Lily, Severus mengalihkan pandangannya tak gentar pada Albus Dumbledore
si penghulu, yang menatapnya tegas dari balik kacamata setengah bundarnya. Ia
merasakan jari-jari hangat menyisip ke jemarinya, meremas tangannya, dan
ujung-ujung bibirnya sedikit tertarik ke atas. Ia tak menyangsikan sedikitpun di
wajah kekasihnya terlukis ekspresi yang identik.
Mereka akan menghadapi ini bersama.
Seperti sebelumnya.
Dan untuk seterusnya, selama sisa hidup mereka. Hingga akhir.
.
.
Baby, I didn’t say my vows,
So glad you were around
When they said, "Speak now".
.
.
The end.
A/N. Kekasihku di sini tidak menyatakan
signifikansi hubungan. Karena kan mereka sudah break-up sebelumnya. Kekasihku
menyatakan perasaan yang masih terpendam bahkan setelah semua hubungan
diputuskan. Kasarnya sih, my beloved.
James kelihatan jahat/menyebalkan/angkuh ya di sini. Tapi itu cuma
pendapat Sevvie. Sebetulnya Jemsie ga seperti itu… mungkin. Who knows :P. Tapi
di sini dia membentak-bentak dan terlihat frustasi di ruang rias/ganti karena
dia gugup di hari pernikahannya. Siapa yang tidak mau pernikahannya sempurna,
atau tidak gugup di hari terpenting di kehidupannya, ya kan?
NB: Coba dengarkan Speak Now (Taylor Swift) selama/setelah baca fic ini :D.